Jumat, 17 Oktober 2008

TUGAS EDITORIAL

Kebijakan Ekonomi Nasioanal

Tak ada yang menyangkal perekonomian saat ini banyak terbentur berbagai macam persoalan, terutama gejolak yang terjadi di dunia. Fluktuasi harga pasar di dunia, mulai bahan bakar sampai bahan pangan, selalu menghantui setiap perekonomian kita. Begitu seringnya, hingga perekonomian terkesan rentan terhadap gejolak dunia.

Bukan cuma itu. Perekonomian kita seperti tidak memiliki pegangan yang pasti, karena setiap tindakan dan kebijakan yang diambil nyaris selalu bersifat reaktif. Ketika harga bahan bakar di pasar internasional mengalami kenaikan, maka yang disasar sebagai langkah antisipasinya adalah mengutak-atik anggaran, khususnya terkait jumlah subsidi. Anggaran belanja negara siap diubah, siap pula untuk tidak disentuh, tidak ada kepastian.

Sama hal nya saat harga bahan pangan di pasar internasional bergejolak dan menyebabkan kenaikan harga pasar domestik, maka dengan mudah keputusan impor diambil. Alasannya untuk memenuhi stok dalam negeri sekaligus menstabilkan harga. Seolah menjadikan impor sebagai solusi, harga bisa secepatnya stabil dan semua persoalan selesai.

Akibatnya, kita jarang sekali melihat ada kebijakan yang diberlakukan secara berkesinambungan. Setelah merasa siap dengan utak-atik subsidi dalam anggaran, rasanya kita tidak melihat ada kebijakan lanjutan yang mampu mengantisipasi dampak gejolak yang terjadi di dunia. Impor dianggap mampu mangatasi gejolak harga, tapi minim sekali kebijakan lanjutan yang mampu membuat kita meningkatkan produksi dan pasokan sendiri. Kita sepeti menyerah begitu saj pada kehendak pasar. Perekonomian kita bebar-benar sedang terseret arus pasar bebas. Sampai-sampai kita tidak mampu lagi melihat prioritas kebijakan perekonomian, menjadi negara industri atau negara agraris yang mampu hidup dari komoditas pertanian.

Indonesia pernah mampu mencapai swasembada pangan, terutama beras, saat almarhum mantan presiden Soeharto masih berkuasa. Sedangkan kini kita harus mengimpor hanya sekedar untuk memenuhi stok. Kita seperti kehilangan arti ‘intensifikasi’ dan ‘ekstensifikasi’ demi meningkatkan produksi dalam negeri. Kita seperti alergi dengan kata ‘proteksi’ meski untuk melindungi usaha kecil dan petani sendiri.

Negara ini butuh kebijakan ekonomi nasional yang kuat terkait pengembangan perekonomian dalam negeri, sehingga tak lagi rentan terhadap fakor eksternal. Kita butuh prioritas pembangunan ekonomi, kebijakan berkesinambungan dan bukan parsial. Kekuatan kunci perekonomian perlu diidentifikasi, jadikan prioritas, lalu dilindungi dan dikembangkan dengan kebijakan berkesinambungan. Tak perlu malu memetik pelajaran dari keberhasilan masa lalu.

Tidak ada komentar: